Robohnya kedua raksasa kami….

Jumat siang. 19 November 2021. Hujan deras mengguyur lingkungan pekarangan kami. Lumrah karena memang sudah masanya.

Namun siang itu, air turun tak sendirian. Dibawanya serta angin kencang. Ini pun sudah biasa. Beberapa kali sudah terjadi. Tapi kali ini lain dari biasa. Hujan air dan angin kali ini benar-benar beda. Kekuatannya luar biasa. Sampai-sampai dua pohon raksasa kebanggaan kami tak mampu menahan kekuatannya.

Ya, dua beringin raksasa yang selama ini menyimpan banyak cerita selama berpuluh-puluh tahun, akhirnya menyerah kalah. Dalam sekejap keduanya rubuh. Pengabdiannya berakhir.

Hidup puluhan tahun

Entah sejak tahun berapa pohon ini ditanam, persisnya saya tidak tahu. Beberapa orang mengatakan bahwa pohon ini sudah ada sejak saat Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, uskup emeritus Keuskupan Agung Palembang menjadi rektor di skolastikat ini. Dan kalau benar, itu berarti kedua pohon ini sudah mulai ditanam antara tahun 1978-1986.

Salah satu keterangan datang dari Rm Puryanto, salah seorang senior SCJ yang kini tinggal di Biara Gembala Baik St Yohanes, Gisting. “Yg ikut nanam sdh emeritus, layaklah kalau yg ditanam oleh beliau yg emeritus, nyuwun pamit juga,” tulisnya disertai dengan emoticon senyum dan tawa di WA Group para SCJ.

Simpan banyak kenangan

Dua beringin raksasa ini tumbuh di pekarangan depan kompleks Skolastikat SCJ, Jl Kaliurang Km 7,5 Yogyakarta. Keduanya menyimpan kenangan dan cerita, baik bagi mereka yang pernah menghuni biara Skolastikat SCJ maupun bagi mereka yang sekadar berkunjung atau bahkan sekedar lewat di jalan Kaliurang.

Berita tentang robohnya kedua beringin raksasa ini memang segera menyebar di WAG para SCJ. Ragam komentar disampaikan. Masing-masing memiliki kenangan dan kesan.

Bahkan, Mgr Aloysius Sudarso yang diberi kabar oleh Rm Kusmaryadi, rektor Skolastikat SCJ saat ini, turut berkomentar. Antara lain saya kutipkan demikian:

“Pohon kesayangan Romo Bert lho. Bruder Step sudah mau memotongnya dilarang oleh Romo Bert.”

(Mgr Aloysius Sudarso SCJ)

Romo Bert yang dimaksud adalah Rm Bert van der Heijden SCJ, imam misionaris asal Belanda yang pernah menjadi formator di tempat ini dan dosen di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.

Ragam komentar lain terus bermunculan. Tanpa menyebut nama, berikut beberapa komentar lain. Ada yang serius, ada yang remeh temeh. Ada pula yang menyayangkannya.

“Sudah selesai pengabdiannya untuk melindungi para skolastik”.

“Memang sudah waktunya tumbang, sekarang tinggal meremajakan saja.”

“Semakin tua semakin rapuh. Meskipun sdh memberikan segalanya. Ada saat yg tdk bisa dihindari, tumbang”.

Sing nunggu sudah pergi” – artinya “Yang menunggu sudah pergi”

“Ternyata demit kalah dg angin.”

“Mas Tukiman dulu disuruh ngrempeli rantingnya pun gak brani lho…” – Mas Tukiman yang dimaksud adalah pensiunan karyawan Skolastikat SCJ.

“Dulu saat skolastikat memelihara wedus, daun yg di ranting sering kami segreki tuk pakan wedus”.

“Banyak kenangan manis di sini… sepeda romo H dulu digantungkan di atas pohon ini” – diikuti emoticon tertawa puas.

“Haha… usil yg mengakrabkan. Mungkin skrg gk pd usil lagi.”

Saya pun kerap mendengar cerita-cerita berbau mistis dari orang-orang yang pernah berkunjung. Ada yang mengatakan bahwa ada banyak “penunggu”. Ada pula yang tak berani masuk kompleks karena ketakutan. “Seram!”

Namun, ada juga yang justru merasa senang dengan keberadaan kedua pohon itu.

“Wah, di sini sejuk ya romo. Enak ada banyak pohon.”  

Menjaga keseimbangan ekologi

Lepas dari berbagai macam tanggapan dan cerita, keberadaan kedua pohon beringin ini telah berkontribusi bagi terjaganya keseimbangan ekologi.

Kalau Anda yang sering melewati Jl Kaliurang, pastilah Anda bisa melihat sendiri betapa saat ini semakin banyak bangunan, baik ruko maupun perumahan, yang berdiri. Semakin berkurang lahan hijau di area ini.

Dampak dari itu semua tentulah semua sudah paham. Tak perlu saya sebutkan di sini.

Keberadaan seminari-seminari di sekitar Jl Kaliurang, setidaknya mulai Km 6 sampai Km 8, yang memang sudah berdiri puluhan tahun lamanya, merupakan sebuah keuntungan bagi lingkungan sekitar. Bisa disebutkan di sini antara lain: Seminari Tinggi St Paulus, Seminari Tinggi Anging Mamiri, Skolastikat MSF, dan Skolastikat SCJ.

Seminari-seminari ini umumnya mempunyai lahan yang luas. Pepohonan yang sudah ditanam sejak lama relative dijaga keberadaannya. Maka kompleks-kompleks tersebut umumnya tetap rindang – kalau tidak mau disebut “seperti hutan”. Hehehee….

Di tengah semakin sedikitnya lahan hijau yang mulai tergantikan dengan aneka bangunan, lingkungan di seminari-seminari ini bisa menjadi lahan penyeimbang. Bisa dipastikan lahan-lahan di sana tak akan dijual untuk kepentingan bisnis karena dipakai sebagai tempat pendidikan para calon imam.

Wasiat terakhir

Setelah tumbangnya kedua beringin raksasa, saya bergabung dengan para frater dan romo lainnya membereskan kedua pohon. Kesigapan para relawan dari BNPB sangat kami apresiasi. Tanpa diminta, mereka turut bekerja membantu kami.

Di tengah hujan, saat masih ikut membereskan potongan-potongan ranting dan batang kayu, ide untuk menuliskan peristiwa ini muncul.

Saat itu pikiran spontan yang muncul adalah: “Kedua pohon ini sudah banyak berkontribusi, terlebih menjaga keberadaan air tanah. Perlu ditanam pohon yang baru”.

Seandainya kedua pohon itu bisa bicara, barangkali mereka akan mengatakan hal yang sama:

“Tugas kami sudah selesai untuk menjaga lingkungan dan hidupmu. Teruskanlah menjaganya….”

Berikut ini beberapa foto kedua pohon, baik sebelum maupun sesudah roboh.

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑